Nama lengkap beliau adalah KH. Quhwanul Adib Munawwar Kholil, salah satu Masyayikh dan A’wan Pondok Pesantren Langitan, yang dikenal faqih, sufi, dan humoris. Tiga hal itu melekat dalam kepribadian beliau dan menjadi semacam penanda dalam ingatan siapapun, baik murid maupun teman sejawat, yang membuat beliau senantiasa dirindukan dan abadi dalam kenangan.
Membalah Kitab-kitab Besar
Kiai Adib lahir di Grobogan, 25 Juli 1964, putra dari pasangan KH. Munawwar Kholil dan Nyai Hj. Maslamah. Ayah beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Maram, Manduran, Grobogan, Jawa Tengah. Desa Manduran ditengarai sebagai salah satu basis penting penyebaran Agama Islam di Jawa Tengah, melalui keberadaan makam Syaikh Kafiluddin, yang setiap tahun dirayakan haulnya secara besar-besaran oleh masyarakat sekitar.
Kiai Adib, selain ditempa agama olah kedua orang tuanya juga nyantri di Pondok Pesantren Al-Fadhlu wal Fadhilah, Kaliwungu, Jawa Tengah dan merupakan salah satu santri kinasih Mbah Dimyati Rois, Ulama Sepuh Jawa Tengah. Gus Adib muda diambil menantu oleh KH. Abdullah Faqih Langitan untuk dijodohkan dengan Ning Hanifah, dan diboyong untuk menjadi pengajar di Pondok Pesantren Langitan sampai akhir hayatnya.
Sejak bermukim di Pondok Pesantren Langitan, beliau sudah dikenal alim dan bahkan langsung dipercaya oleh pengasuh untuk membacakan kitab-kitab besar (syarah-hasyiyah), kitab-kitab tebal yang membutuhkan pemahaman dan penguasaan mendalam terhadap ilmu alat, juga referensi dari kitab-kitab lain. Kemampuan itu pula yang memungkinkan beliau dengan enteng saja menguraikan simpul-simpul mati dari persoalan fiqh yang rumit, dan menyampaikannya dalam bahasa yang mudah dicerna oleh para pendengarnya.
Sebelum menikah beliau sempat melakukan berbagai perjalanan ilmiah yang salah satunya tabarukan dari satu pesantren ke pesantren lain untuk mengaji dan mendapatkan sanad dari kiai-kiai terkemuka tanah Jawa. Dari perjalanan itu beliau menghatamkan tidak kurang dari 180 kitab. Bahkan, beliau diketahui pernah menghatamkan 70 kitab matan selama Ramadhan di Pondok Pesantren Sarang. Dari ratusan kitab itu, menghatamkan kitab babon Madzhab Syafi’i al-Muhadzdzab sebanyak tiga kali.
Di Pondok Pesantren Langitan, beliau menjadi salah satu kiai rujukan dalam persoalan fiqh kontekstual, nama beliau tercantum sebagai pengasuh rubrik konsultasi agama pada Majalah Langitan, salah satu rubrik yang banyak mendapatkan atensi dari pembaca, terbukti dengan melimpahnya jumlah pertanyaan yang masuk ke meja redaksi setiap edisinya. Dalam rubrik tersebut, jawaban-jawaban yang beliau sampaikan terasa logis dan dapat diterima oleh hampir semua kalangan dan tetap berpakem pada literatur klasik yang menjadi rujukan ulama Ahlussunah wal Jamaah.
Figur Ulama Akhirat
Dalam perjalanannya, Kiai Adib juga dipercaya untuk membacakan Kitab Ihya’ Ulumuddin kepada para santri dan alumni Pondok Pesantren Langitan dalam pengajian mingguan, menggantikan KH. Abdullah Faqih. Itu merupakan pilihan yang sangat tepat, karena kita tahu bahwa Kitab Ihya’ Ulumuddin adalah salah satu karya monumental Imam Al-Ghazali yang banyak membahas tentang seluk beluk penyucian jiwa dan pendidikan hati untuk menjadi ulama paripurna (kamil). Sedangkan, sudah jamak diketahui bahwa Kiai Adib adalah sosok kiai yang sederhana, baik dalam sikap maupun penampilan. Setinggi apapun keilmuan yang beliau miliki beliau tetap rendah hati. Sekali waktu, dalam pengajian Kitab Ihya’ Ulumuddin, beliau pernah menyampaikan bahwa beliau hanya diutus oleh KH. Abdullah Faqih untuk membacakan kitab, ada atau tidak ada yang datang untuk menyimak pengajian bukan menjadi masalah bagi beliau.
Dalam hal penampilan, kediaman dan kendaraan beliau pun relative sederhana, meskipun sebenarnya secara finansial beliau sangat bisa untuk lebih dari itu. Ringkas kata, beliau adalah pantulan ulama akhirat sebagaimana tercantum dalam kitab yang beliau baca setiap minggu.
Kiai Adib juga dikenal sebagai sosok yang hangat dan mudah akrab dengan seiapapun. Pengetahuan beliau yang luas dan melingkupi segala macam topic serta pembahasan memungkinkan setiap perbincangan dengan beliau menjadi panjang dan tidak membosankan, lebih-lebih dengan pembawaannya yang humoris, beliau dapat merangkai setiap pembahasan menjadi humor lucu yang mengundang senyum.
Sufi Humoris yang Dirindukan
Salah satu ciri khas Kiai Adib dalam setiap pengajiannya adalah sisipan cerita lucu yang dapat mencairkan suasana. Seakan-akan beliau memiliki perbendaharan cerita lucu yang tidak ada habisnya untuk disampaikan. Cerita-cerita itu umumnya berasal dari literatur kitab klasik yang sepanjang hayat telah beliau akrabi.
Cerita-cerita lucu tersebut tentunya bukan hanya dimaksudkan sebagai pencair suasana belaka. Sudah jamak diketahui bahwa kebanyakan para sufi menggunakan cerita dan bahkan tingkah pola yang lucu sebagai salah satu metode pembelajaran yang efektif. Karena bagaimanapun humor akan jauh lebih mudah dicerna oleh pikiran daripada rumusan hukum yang baku. Kita tahu, cerita lucu dapat menembus lapisan kesadaran seseorang dan mengikis resistensi.
Selain itu, kita juga tahu, bahwa humor adalah salah satu tanda kejeniusan seseorang. Dalam khazanah sufistik dunia kita mengenal para pemikir besar yang menyampaikan buah pikirannya dengan cara yang jenaka, sebut saja misalnya Abu Nawas dan Nasruddin Hoja yang menjadi legenda. Di Indonesia sendiri kita mengenal KH. Abdurahman Wahid sebagai sosok kiai yang humoris dan jenaka. Atau Gus Bahak yang akhir-akhir ini viral. Mereka adalah raksasa-raksasa pemikiran yang namanya abadi sampai kapanpun.
Kiai Adib demikian juga, beliau memiliki sense of humor yang tinggi, di samping kedalaman ilmu dan keluasan cakrawala pemikiran, sehingga tidak berlebihan untuk menyebut beliau sebagai salah satu sufi besar yang dimiliki oleh Pondok Pesantren Langitan. Beliau telah berpulang pada Hari Kamis 03 Desember 2020, meninggalkan ribuan kenangan yang abadi di benak kita semua.
Recent Comments