Posisi manusia sebagai makhluk terbaik (insan kamil) telah mendapat legitimasi Allah Swt. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”[1]
Ibnu Katsir menyampaikan bahwa makna “ahsani taqwim” di atas adalah bentuk terbaik dari makhluk Allah. Berjalan dengan kedua kaki dan makan dengan menggunakan tangan. Begitu pula Allah menurunkan perangkat penting, yaitu alat mendengar segala suatu (sam’an), melihat dan menganalisa (bashir), dan memahami serta merasakan (fuad). Dengan ketiga perangkat ini manusia bisa membedakan mana yang baik dan buruk.[2]
Jadi manusia menjadi lebih unggul dari lainnya dalam wilayah fisik ataupun rohani. Manusia dilengkapi dengan otak dan ruh. Keberadaan dua perangkat ini berbeda dengan perangkat yang diberikan kepada hewan. Meski hewan mempunyai otak dan hati, namun dia tidak bisa berpikir dan mempunyai rasa ruhani. Apa yang hewan lakukan tidak lebih dari insting hewaniyah.
Jika mau menelaah lebih dalam sisi budaya manusia (antropologi[3] kebudayaan), maka akan dapat kita tarik benang merah bahwa dengan potensi pikir dan nalar rasa, maka manusia akan menghasilkan berbagai cara bertindak, berperilaku, bergaul, berbahasa, berkomunikasi, berekonomi, berpolitik, dan ‘ber-ber’ lainnya. Semua itu kemudian menyatu menjadi nilai-nilai yang diyakini sebagai norma kehidupan. Dan norma itu membentuk cipta, rasa, dan karsa manusia yang kemudian disebut budaya.
Islam datang menjadi agama yang sejuk dan santun. Nilai-nilai yang dianggap bagus menurut umat islam maka akan bernilai bagus pula bagi Allah. Dalam hadits marfu’ Abdullah ibn Mas’Ud meriwayatkan, “Apa yang diyakini kaum Muslimin sebagai seuatu kebaikan, berarti baik pula disisi Allah Swt.” Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa islam bersikap lunak (kooperatif) terhadap fenomena kebudayaan.
Lewat kaidah kelima ini, tradisi atau adat istiadat sebagai proses pergumulan manusia (dialektik-sosial) dan kreativitas alamiah manusia tidak harus dibasmi atau dianggap membahayakan. Namun dipandang sebagai teman (patner) yang disaring (filter) dengan baik agar dapat menjadi salah satu piranti penunjang hukum syari’at.
Yang perlu dipertegas, bahwa keberadaan tradisi bukan berdiri sebagai landasan hukum (yuridis) atau perangkat metode yang berdiri sendiri (otonom) yang berfungsi melahirkan hukum-hukum baru. Keberadaan adat istiadat hanya sebagai ‘penghias’ untuk melengkapi hukum-hukum syariat.
Contohnya adalah tradisi penjagaan kebun. Dikisahkan unta shahabat bernama Barra’ bin Azib r.a. memasuki kebun orang lain dan merusak tanamannya. Dan sudah menjadi tradisi Arab dahulu bahwa di siang hari mereka menjaga kebun (ternak dilepas) dan di malam ternak dimasukkan kandang. Tradisi ini berjalan secara turun temurun dan dipandang sebagai nilai bersama dan norma sosial. Maka ketika kejadian itu diberitahukan nabi, beliau menjawab, “Pemilik kebun harus merawat kebunnya di siang hari dan pemilik hewan piaraan harus menjaga piaraannya di malam hari”.
Dari sini dapat diputuskan bahwa seandainya pengrusakan itu terjadi pada malam hari maka Barra’ harus memberikan gangi rugi (tadlmin) –karena penjagaan hewan di malam hari menjadi tanggung jawab pemilik hewan- dan jika terjadi di siang hari maka ia tidak memberi ganti rugi karena penjagaan kebun di siang hari dibebankan pada pemilik kebun. Kesepakatan seperti ini tidak harus sama diseluruh dunia, karena factor yang mempengaruhi adalah factor budaya atau tradisi. Begitu pula dengan masalah-masalah lain, yang nash-nash agama tidak menggambarkan secara detail maka akan dikembalikan pada budaya setempat, seperti cara menutup aurat. Orang Indonesia tidak harus memakai pakaian yang sama persis dengan orang Arab, tapi bagaimana yang penting aurat itu bisa tertutupi.
Batasan Adat
Imam As-Suyuthi dalam Asybah wan Nadzair menyampaikan bahwa tidak semua adat bisa masuk dalam kaidah ini. Adat yang mampu memperkuat syariat adalah: segala sesuatu yang tidak mempunyai qoyyid syar’I (batasan syari’ah) ataupun qoyyid lughowi (batasan bahasa). Artinya, selama syari’at tidak memberi ketentuan secara detail maka batasannya akan diserahkan pada penilaian adat yang berlaku.
Contohnya adalah berbarengannya niat (muqaranah urfiyah) dalam takbiratul ihram. Maksud muqaranah adalah menghadirkan ‘bentuk’ sholat dalam hati secara umum (istihdlar urfi) ketika di awal shalat (takbiratul ihram). Dan masalah ini tidak ada penjelasan yang detail, baik dari nash-nash syari’at ataupun kebahasaan (lughawi). Apakah berbarengan di awal, tengah, atau akhir saja. Atau awal sampai akhir, awal sampai tengah, atau tengah sampai akhir.
Syariah hanya memberi batasan secara umum kalau muqaran itu berada di awal shalat atau takbiratul ihram (saja). Oleh karenanya, berbarengannya niat dengan takbiratul ihram diserahkan kepada kebiasaan umum yang dapat dilakukan manusia. Sehingga terciptalah muqaranah urfiyah, atau kebersamaan secara umum. Yakni, kebersamaan antara niat dalam seluruh takbiratul ihram, serta bisa pula di awal atau di akhir (saja).
Landasan Kaidah
Menurut Syaikh Yasin al-Fadani yang menukil pendapat Imam as-Suyuthi bahwa kaidah ini berdasarkan Firman Allah Swt.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah sesuatu yang baik, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”[4]
Kata urf di atas bisa diartikan “adat” atau “kebiasaan”. Meski yang dimaksud di sini adalah yang tidak bertentangan dengan syari’at (ma lam yukhulif as-syari’at). Tapi pendapat Syaikh Yasin ini dinilai lemah oleh para fuqaha karena sangat kontras bila ditautkan dengan asbabun nuzul ayat.
Kemudian menurut Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi dalam kitab al-Mawahib al-Saniyyah dijelaskan bahwa kemungkinan besar kaidah kelima ini berdasarkan pada ayat:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa menentang Rasul setelah datangnya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin maka Kami biarkan dia leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan akan Kami masukkan mereka ke neraka jahannam. Dan neraka Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.”[5]
Al-Jarhazi berpendapat bahwa kata sabil semakna dengan kata thariq yang berarti “jalan”. Dengan demikian, sabilul mukminin dapat diartikan sebagai sebuah jalan yang terdiri dari norma-norma dan etika yang dipilih umat Islam serta sudah menjadi langgam budaya.
Adapun hadits yang dapat dijadikan landasan dasar adalah hadits:
المكيال مكيال أهل المدينة، والوزن وزن أهل مكة
“Takaran bagi penduduk Madinah, dan timbangan adalah untuk penduduk Makkah.”
Menurut Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad bahwa hadits di atas merupakan ‘bentuk kompromi’ bagi penduduk Madinah yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Dalam jual-beli mereka menggunakan takaran. Dan bagi penduduk Makkah yang mayoritas berprofesi pedagang dalam jual-belinya menggunakan timbangan.[6]
Hadits di atas juga dikuatkan hadits marfu’ yang diriwayatkan Abdullah ibn Mas’ud:
ما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن
“Apa yang diyakini kaum Muslimin sebagai seuatu kebaikan, berarti baik pula disisi Allah Swt.”
Makna ma ra-a hu atau “pandangan umum” adalah semacam ide, gagasan, pemikiran, atau persepsi umat islam secara umum. Dan jika itu dinilai baik menurut kaum Muslimin, maka akan dinilai baik pula oleh Allah. Tentu semua itu dengan catatan selama tidak keluar dari koridor syariat.
Dari sinilah dapat kita ketahui bahwa Islam tidak memandang budaya sebagai musuh yang membahayakan, namun menjadi ornamen untuk mendesain hukum syari’at agar mampu mengakomodasi kearifan lokal tiap komunal umat islam yang telah menjadi langgam budaya.
Senin, 19 April 2010
Muhammad Hasyim
****
[1] QS. At-Tin: 4.
[2] Tafsir Ibnu Katsir Jilid V hal. 97
[3] Antropologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang manusia.
[4] QS. al-A’raf: 199.
[5] QS. an-Nisa: 155.
[6] Lihat Kitabul Qawa’id, Juz I hal. 358-359.
Recent Comments