Islam Sebagai Nafas

Diapit dua Narasumber: Usai bedah buku Historical Fact and Fiction foto bareng Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA.Ed., M.Phil., Direktur Institute for the Study of Islamic Thought & Civilizations (INSIST) dan Dr. Adian Husaini.

“Ilmu sejarah itu sangat penting. Sepertiga dari al-Qur’an berisi tentang kisah umat dahulu. Bagaimana mungkin kita akan memahaminya jika tidak memiliki ilmunya.” demikian ungkap Dr. Adian Husaini saat bedah buku Prof. Dr. Sayyid Muhammad Naquib al-Attas Malaysia. Hadir sebagai narasumber kedua adalah Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA.Ed., M.Phil., Direktur Institute for the Study of Islamic Thought & Civilizations (INSIST).

 

Buku berbahasa Asing dengan judul Historical Fact and Fiction –yang belum ada versi indonesianya- ini dibedah hari rabu, tanggal 2 Nopember 2011 (kemarin) di Aula Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. Di usianya yang ke-80 Prof. al-Attas masih cukup produktif dalam ide dan pemikiran meskipun kondisi kesehatannya menampakkan kebalikannya. Tokoh yang lahir di Bogor, 5 September 1931 M. ini merupakan keturunan ulama kharismatik Abdullah bin Muhsin al Attas. Yang karena jasanya dalam meninggikan agama islam, hingga sekarang makam kakeknya yang dikenal dengan Makam Empang-Bogor masih banyak di ziarahi umat islam.

Karya yang diterbitkan Universitas Teknologi Malaysia (UTM) ini menjadi menarik karena telah memberikan informasi baru dan kritik atas sejarah peradaban Islam dan Melayu. Contohnya adalah nama untuk pulau Sumatra. Jika sementara ini para sejarahwan mengatakan bahwa kata Sumatra berasal dari kata “samodra” maka penulis mengatakan bahwa Sumatra berasal dari “semutraya”. Hal ini didasarkan laporan dari kitab Ajaib al-Hind karya Buzurg ibn Shahriar dari abad 10 M yang menulis hasil temuan Muhammad ibn Babishah bahwa terdapat semut-semut yang sangat besar di Sumatra Utara terutama di Pulau Lamri. (Historical Fact and Fiction, hal 12).

 

Ketajaman analisis lain penulis dapat kita lihat dalam kritik tentang tahun kewafatan Raja al-Malik al-Salih. Dalam buku ini, beliau menulis bahwa al-Malik al-Salih (Raja pertama kerajaan Pasai) wafat pada tahun 1210 M. Penetapan ini berdasarkan laporan seorang sejarawan yang berwibawa, yaitu  Sayyid Alawi bin Tahir al-Haddad yang menziarahi perkuburan al-Malik al-Salih. Data ini berbeda dengan para sejarahwan sebelumnya yang mengatakan wafatnya tahun 1296 M. (Historical Fact and Fiction, 16-17).

 

Jika kebanyakan pemikir islam yang belajar ke Barat silau dengan pemikiran orientalis maka tidak dengan Prof al-Attas. Pernah suatu ketika, seorang orientalis mengkritik islam tanpa dalil yang kuat. Dengan lantang Prof al-Attas mengatakan, “Anda tidak ngerti islam. Yang anda ketahui hanya bentuk luarnya saja”. Beliau juga menyemangati generasi muslim untuk tidak takut dengan para orientalis. Mereka hanya memahami islam secara sepotong-sepotong tidak dalam bingkai yang utuh.

 

Kritik atas orientalis itu dapat kita lihat dalam tulisannya tentang pendapat para orientalis dan kaum kolonial: “Banyak sarjana yang telah memperkatakan bahwa Islam itu tidak meresap ke dalam struktur masyarakat Melayu-Indonesia; hanya sedikit jejaknya di atas jasad Melayu, laksana pelitur di atas kayu, yang andaikan dikorek sedikit akan terkupas menonjolkan kehinduannya, kebudhaannya, dan animismenya. Namun menurut saya, paham demikian itu tidak benar dan hanya berdasarkan wawasan sempit yang kurang dalam lagi hanya merupakan angan-angan belaka.”  Lihat Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,  (Bandung: Mizan, 1990).

 

Prof. al-Attas memiliki keyakinan kuat bahwa bagi orang Melayu-Indonesia, Islam diterima bukan hanya sebagai keyakinan saja tetapi cara pandang menyeluruh atas kehidupan hingga mempengaruhi budaya. “Sebenarnya alam Indonesia ini sudah berada dalam konsep budaya Islam. Sebelum orang berangkat bekerja di pagi hari bisa menjalankan shalat subuh dahulu. Siang istirahat berada dalam waktu shalat dzuhur. Pulang kerja pada saat shalat ashar. Kemudian aktifitas malam dimulai dengan maghrib dan menutup dengan shalat isya’.” demikian ungkap Pak Hamid.

“Titik penting simpulan buku Historical Fact and Fictions adalah, bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara ini utamanya bukan tidak dilakukan secara sambilan. Dengan bukti-bukti yang kuat dari karya para penulis Muslim klasik, sumber-cumber Cina dan Eropa, al-Attas sampai pada kesimpulan bahwa Islamisasi di Nusantara ini dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten, dan dilakukan oleh para misionaris Islam yang hebat.” tambah Pak Adian.

Karya dari pendiri International Institute of Islamic Thought and Civilization – International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) ini memiliki ciri khas bahwa buku bukan hanya sebagai laporan penemuan, kajian ilmu, atau teori saja. Namun ditulis dengan semangat menjadikan islam sebagai pandangan menyeluruh atas kehidupan. Data-data yang masuk diseleksi dengan ketat dan dikomparasikan dengan kejadian diberbagai belahan dunia.

 

Semangat Prof al-Attas ini patut kita teladani. Umat Islam Melayu-Nusantara harus bangkit menolak dominasi Barat. Meski buku ini menginterprestasikan fakta sejarah namun api itu sangat kentara. Menjadikan Islam sebagai nafas dalam kehidupan.

 

Wallahu a’lam bis shawwab

 

Tuban, 3 November 2011

Catatan Moderator

Muhammad Hasyim