Ahad kemarin (20/9) awan duka menggelanyut langit Pesantren Langitan. Salah satu putri terbaiknya, Ibu Nyai Hj. Faizah telah menghadap Rabb-nya.
Saya memang bukan bagian dari santri yang memiliki hubungan dekat dibanding dengan para khodim beliau. Tetapi dari beberapa cerita dan pengamatan –baik sengaja atau tidak- ada simpul-simpul kehidupan yang jika di tarik garis antara satu dengan lainnya bisa menjelma satu cerita.
Ibu Nyai Hj Faizah adalah wanita tanggung yang perlu diteladani terlebih bagi para wanita masa kini. Beliau ditinggal suami tercinta, Ustadz Sholeh Badawi dalam waktu yang lama tetapi masih tetap kuat menjaga cintanya dengan mendidik satu-satunya buah hati, Agus Habib Sholeh Badawi. Ini beliau lakukan sampai akhir hayat. Ketika anak semata wayangnya telah lulus dari Universitas terkemuka di Timur Tengah.
Seorang wanita yang ditinggal suaminya di usia muda tentu merasakan kejadian luar biasa. Tapi beliau mampu menahan cobaan itu. Tidak tampak goyah meski mungkin hati lebur tergilas waktu.
Selain menjadi single parent, beliau juga menjadi salah satu pengasuh pesantren al-Qur’an di Langitan. Tentu bukan suatu yang mudah. Karena mengurus pesantren salaf bukan hanya cerdas di bidang akademik, tapi juga manajemen pengelolaan, kemandirian dan kemonukasi public kemasyarakatan. Dan ini ternyata dimiliki dan dipola dengan baik. Apalagi jika mengikuti teori analisis pesantren, bahwa pengasuh pesantren merupakan sentral dari perputaran roda kepengurusan.
Putri Kiai Ahmad Marzuqi ini juga pecinta sejati al-Qur’an. Terbukti beliau bukan hanya menghafal, tetapi juga menjaga dan mengajarkannya. Entah sudah berapa santri yang telah menghafal al-Qur’an lewat lisan yang mulia. Bahkan sebagaimana pengantar KH Ubaidillah Faqih (biasa di sebut Kiai Ubaid) dalam sesi pemberangkatan jenazah, bahwa Nyai Hj. Faizah adalah hamilul Qur’an (pembawa –atau penjaga- Qur’an). Lisannya tidak pernah kering menyebut ayat-ayat suci Firman Rabb-nya.
Kiai Ubaid juga mengatakan bahwa sebelum wafat, Nyai Faizah telah mengalami koma, dan diambang pitu barzakh, dibawah alam bawah sadara mulutnya masih selalu merapal al-Qur’an seperti dalam keadaan sehat. Cerita dari riwayat lain, rapalan itu bisa sampai tiga surat yang panjang. Subhanallah.
Melihat ini, berarti al-Qur’an telah melekat atau barangkali menyatu dengan nafas dan darah beliau. Sehingga meski dalam keadaan komapun, rapal al-Qur’an masih terdengar dari dua katub bibir yang mulia.
Jika Anda membaca tulisan ini, berkenan kiranya mengirimkan al-fatihah kepada guru kami agar ditambah kenikmatan di alam sana, dan putra beliau diberi kekuatan. Al-fatihah.
Recent Comments