Usai menerima cubitan matahari di siang bolon, saya pergi ke kantin pojok Graha Amerta, Surabaya untuk mengusir kekeringan. Dengan segelas teh manis dan beberapa goreng jajan sebagai pengganjal perut. Di sana kebetulan ketemu teman yang sedang menunggu kakak sepupunya rawat inap.
“Sakit apa?” Tanya saya.
“Kencing Batu. Besarnya segini” jawabnya sambil mengepalkan tangan.
“Uiiiihhhh…. Sakti bener. Kok bisa menahan rasa seperti itu.” ucapku dalam hati
“Sudah empat tahun mas rasa itu disembunyikan.”
“Lho ceritanya gimana?”
“Dulu mas –sepupu- saya itu pernah kecelakaan. Di perutnya di buka lubang darurat untuk jalan air seni yang tidak bisa keluar pada jalan yang normal. Nah, beberapa waktu kemudian jalan darurat di perut itu juga mengalami gangguan hingga air seni macet lagi. Karena sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang luar biasa karena timbunan stok air seni dan alasan keuangan, ia mencoba melubangi sendiri lubang darurat itu tanpa berkonsultasi dengan pihak medis.”
“Melubanginya pakai apa mas?”
“Pakai jarum”
“Uiiiihhhh” bulu kudukku langsung berdiri membayangkan proses itu.
“Setelah beberapa waktu air seni bisa keluar lewat lubang darurat yang dilubangi sendiri, kemudian macet lagi. Dan lubang itu kemudian dilubangi lagi untuk yang kedua kalinya menggunakan jarum yang sama. Celakanya, jarum itu masuk ke dalam lubang itu tidak bisa diambil. Kejadian itu sudah terjadi empat tahun yang lalu. Sehingga air seninya mengkristal segenggam tangan. Ketika di rongsen, ternyata di batu itu terdapat jarum di tengah-tengahnya”
“Masyallah, bertapa sakitnya” pikirku.
“Tapi sekarang sudah mending mas, sudah operasi dua kali. Batunya tinggal setengah. Tapi ya gitu harus sabar. Untuk separo proses ini saja sudah rawat inap selama 4 bulan.”
***
Saya berdoa semoga pasien cepat sembuh dan dapat aktifitas sehari-hari –terutama menjalankan ibadah- dengan baik. Selain itu, ada pelajaran yang dapat kita ambil dalam kasus ini. Yaitu penanganan sesuatu yang dilakukan diluar prosedur.
Si pasien yang mencoba ‘mengoperasi’ sendiri tubuhnya tanpa keilmuan medis yang memadai bukan malah mendatangkan kesembuhan tapi malah mendatangkan ancaman yang serius atas kehidupan. Jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, tentu ancaman kematian akan menjadi nyata. Senyata munculnya matahari.
Dari kasus ini, kiranya tidak salah jika segala sesuatu dikerjakan bukan ahlinya akan menyebabkan kehancuran (idza wusida amru bi ghoiri ahlihi fantadziru al-sa’ah). Teori ini juga dapat kita pakai dalam bidang pemikiran. Di mana ketika urusan-urusan yang ditangani bukan ahlinya bukan akan menghasilkan ide atau gagasan yang solusif namun malah menjadi benang kusut di kemudian hari.
Jumat lalu, KH Abdurrahman Navis mengupas hal ini dalam khutbahnya di Masjid Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya. Saat itu sedang menerangkan proses penyembelihan Nabi Ismail sebagai titik balik lahirnya ibadah haji di Baitullah. Beliau mengatakan:
Ketika mendapat pertanyaan dari sang ayah, “Nak aku mendapat perintah dari Allah untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” (lihat Q.S. al-Shaffat [37]: 102). Nabi Isma’il menjawab, “Ya Abati if’al ma tu’maru. Satajiduni insya-Allah min al-shabirin”. Dalam tata bahasa Arab, kata ayah itu seharusnya berbunyi abi, bukan abati seperti ayat di atas. Mengapa Nabi Isma’il mengatakan Abati, padahal itu tidak menunjukkan arti perempuan.
Para mufassir berpendapat bahwa penambahan ta’ di sana itu memang untuk mendekatkan pada makna perempuan yang dikenal memiliki rasa kasih sayang yang lebih dari laki-laki. Maka jika diterjemahkan adalah “Wahai Ayahku yang miliki kasih sayang yang tinggi seperti para wanita”.
Pendapat ini dapat kita temui jika menggunakan penafsiran ulama tafsir. Jalan seperti hendaknya selalu kita tradisikan. Memahami ajaran agama dari sumber yang outentik. Sebab sekarang banyak sekali orang belajar agama bukan pada tempat semestinya. Akhirnya mereka hanya memahami bentuk luar agama tidak sampai pada hakekatnya.
Betapa banyak sekarang orang mengikuti pelatihan keagamaan selama 3 hari saja kemudian dia mengatakan. “Kita harus mengembalikan agama langsung kepada al-Qur’an dan Hadits.” Bahkan yang membahayakan jika dalam penafsiran berbeda dengan dirinya kemudian ia akan mengatakan golongan ini bukan bagian dari kita (hadza laisa minna).
Apa yang disampaikan Kiai Navis tentulah benar. Gagasan ini semakin menjamur dan subur berkat sokongan yang bersemangat mengadakan ijtihad kembali. Mereka berpendapat umat islam sekarang ini telah berjalan di tempat (stagnan) dan beku (jumud) dalam pemikiran maka perlu adanya dinamisasi agama dengan pendekatan-pendekatan baru. Ungkapan ini sekilas benar, tapi ketika yang berbicara tidak memiliki standar keilmuan islam yang memadai tentu akan menjadi racun yang mematikan islam.
Sebab dengan keterbatasan ilmu dan informasi mereka akan mereka-reka tafsir sesuai dengan kebutuhan. Lebih-lebih jika ada kekuatan besar yang melegitimasi langkah ini dan memiliki kepentingan-kepentingan duniawi. Tentu semakin membahayakan eksistensi islam itu sendiri.
Agama akan cenderung dipahami secara parsial (sebagian-sebagian saja) bukan dalam bingkai yang utuh (konprehensif). Apalagi terkadang dengan semangat yang luar biasa tapi dengan modal usai pelatihan baca cepat al-Qur’an dalam 3 jam telah muncul mujtahid-mujtahid baru. Sungguh ini sangat ironis.
Jika kita melihat tradisi para ulama. Masyallah betapa malunya kita. Imam Ghozali yang dikenal pakar studi keislaman (Islamic studies) saja masih dengan bangga mengatakan ber-madzhab Syafi’i. Padahal beliau telah menulis ulang banyak teori-teori keislaman atau bahkan dengan penafsiran yang terkadang baru dalam berbagai disiplin ilmu.
Ulama-ulama sekaliber Abuya Sayyid Maliki (Guru Besar bidang Hadits dari Makkah), Habib Umar bin Hafidz (pakar dakwah dari Yaman), Syaikh Ramdhan al-Buthi (pakar ushul asal Syiria), Syaikh Wahbah Zuhaili (pakar fiqih dan ushul dari Syiria) semua masih mengakui pengikut setia madzhab empat (madzaib al-arba’ah) yang mulia. Atau dalam ranah nusantara, ulama sekaliber Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Mahfudz al-Turmusi, Syaikhona Kholil Bangkalan maupun Syaikh Hasyim Asy’ari, mereka juga masih bangga dengan mengikuti madzhab.
Apakah mereka tidak memiliki keinginan untuk menyumbangkan pemikiran atas keberlangsungan islam?. Tentu semangat mereka sepersekian ribu lebih tinggi dari kita. Mereka bukan hanya pandai dalam teori namun harus bersusah payah memikirkan umat dan berusaha istiqamah mengamalkan ilmu. Tapi mereka sadar meski ijtihad masih terbuka namun tidak mudah menjadi seorang mujtahid. Ada tahapan-tahapan berat yang harus dilalui. Jika memaksa melakukan ijtihad tanpa keilmuan, nalar logisnya akan lebih parah dari pasien yang mengoprasi dirinya tanpa ilmu medis. Sebab akibatnya bukan hanya kembali pada pribadi tapi pada umat manusia.
Pertanyannya, jika para pakar keislaman saja masih ‘belum pede’ mendeklarasikan diri sebagai mujtahid. Apakah mungkin kita dengan bekal pelatihan keislaman dalam 7 hari atau memahami kitab dari hasil terjemahan atau mengetahui hukum dari google atau cepat baca qur’an 3 jam saja sudah berani mendeklarasikan diri sebagai seorang mujtahid dan menyalahkan ulama-ulama yang sudah diketahui keilmuannya?.
Wallahu a’lam.
Surabaya, 29 Oktober 2011
Catatan saat ikut berkhidmah menunggu Guru Mulia KH Abdullah Faqih Langitan ketika di rawat di Graha Amerta Surabaya.
Recent Comments