The Philosophy of Cinta

The Philosophy of Cinta

Suatu saat, salah satu redaktur media meminta saya untuk menulis essay tentang cinta. Terus terang saat itu, saya belum memiliki ide tentang tema tersebut. Tapi untuk menghormatinya maka saya teringat nasehat para guru, “Jika engkau disangka mampu melakukan sesuatu, maka benarkan sangkaan mereka (fa shaddiq dzannahu).” Yah, semoga tulisan ini bisa menjadi ‘tashdiq’ meski dengan berbagai ‘titik celah’-nya.

Judul di atas memiliki dua kata kunci (key words), yaitu Philosophy dan Cinta. Kata pertama berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia yang jika diterjemahkan bisa berarti cinta kebijaksanaan (hubb al-hikmah/love of the wisdom). Atau dalam bahasa Arab terkadang di ucapkan “falsafah” [saja].

Imam Ghozali termasuk memiliki perhatian yang mendalam pada hal ini. Beliau bukan hanya belajar tapi juga mengkritisi ilmu ini sehingga muncullah beberapa kitab, diantaranya Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan filsafat), Munqidz min al-Dhalal dan Tahafut al-Falasifah (kerancauan para ahli filsafat). Ciri dari filsafat ini adalah berpikir secara mendalam. Ber-filsafat berarti berpikir mendalam tentang sesuatu.

Kata yang kedua adalah Cinta. Ada yang mengatakan bahwa cinta merupakan emosi –atau rasa kasih- terdalam dalam jiwa manusia. Maka dalam ranah ini akan lahir beberapa rasa, diantaranya: cinta atas diri sendiri (narsis), cinta teman atau keluarga (philia), cinta asmara (nafsu), cinta negara (patriotis) dan cinta Tuhan (egape).

Sebagai orang yang beriman, cinta kepada Tuhan tentu merupakan cinta tertinggi dari segala tingkatan (maqam/hierarkhi) cinta. Karena selain menjadi sasaran (obyek), Dia pulalah yang menciptakan rasa itu. Cinta kepada-Nya merupakan bentuk pengejah-wentahan dari rasa mantap (iman) atas eksistensi-Nya dalam –luruh- kehidupan nyata (real).

Rabiah Adawiyah adalah salah satu sufi yang menggunakan metode “cinta” (mahabbah) dalam proses penghambaan (suluk) kepada-Nya. Hal ini dibuktikan dengan tidak menikahnya tokoh asketik sezaman dengan Hasan Basri itu sampai wafat. Ketika ditanya tentang ada tidaknya ruang dihatinya rasa cinta sesama?, ia akan berkata, “Saya tidak pernah tahu apakah masih ada ruang dalam hati saya untuk mencintai selain Allah. Rasa-rasanya cinta saya kepada Allah telah menghabiskan segala rasa dan gelora cinta saya”.

Cinta kepada Allah tentu harus dibarengi dengan cinta kepada yang dikasihi-Nya. Siapakah itu?. Dialah Nabi Muhammad Saw. Tokoh bestari kelahiran Makkah yang telah benar-benar menjadi terkasih, sehingga banyak hadits yang menerangkan bahwa namanya tertulis dalam tiangnya Arsy, dedaunan surga, dan pintu-pintu surga.

Karena itulah banyak para ulama berlomba-lomba mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Karena dengan cinta kepadanya maka dapat pula menghantarkan cinta kepada Allah Swt. Secara nalar tentu thesis seperti ini dapat dipertanggung-jawabkan.

Kecintaan ulama itu diungkapkan dalam banyak bahasa sastra. pendapat mereka Sehingga tidak bisa dicerna mentah-mentah. Jika ungkapan bahasa disampaikan dengan bahasa sastra, maka hendaknya pula analisanya dengan menggunakan pendekatan sastra.

Bait yang terkenal dalam menyanjung nabi diantarnya adalah, [Nabi] Muhammad adalah manusia namun tidak seperti [layaknya] manusia. Dia layaknya batu mulia (yaqut) diantara bebatuan. (Muhammadun basyarun la ka al-basyari, bal huwa ka al-yaquti bayna al-hajari). Syair ini tentu tidak bisa dicerna dalam pendekatan bahasa secara formal namun dibutuhkan pendekatan sastra (metafora) hingga tidak menimbulkan ketimpangan pemahaman, apalagi vonis sinkretis.

Dan masih banyak sekali karya para ulama yang berisi sanjungan kenabian (al-madaih al-nabawiyah/prophetic panegerics) pada [Nabi] Muhammad. Dalam dunia pesantren, ada 3 kitab yang sangat masyhur dalam menerangkan tentang hal ini, yaitu: Qashidah al-Burdah, al-Barzanji dan al-Diba’i. ketiga kitab ini telah dibaca dan melanggam budaya dalam berbagai kesempatan.

Kiranya, pantaskah kita berpangku tangan, padahal Allah dan para Malaikatnya senantiasa ber-shalawat kepada Nabi (InnalLaha wa malaikatahu yushalluna alan Nabi). Dan jika dilanjutkan ada perintah, wahai orang-orang yang beriman, ber-shalawat-lah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kesejahteraan kepadanya (ya ayyuhalladzina amanu shallu alaihi wasallimu taslima). Mari… Mari… Ber-shalawat kepada nabi, allahumma shalli ‘ala Muhammad.

Demikianlah berfikir secara mendalam (ber-filsafat) dalam cinta. Menyemai indah cinta rasul dalam menyempurnakan cinta kepada-Nya. Menyintai sosok terkasih dari Sang Kekasih.

 

WalLahu a’lam bis shawwab.