Garwo

“Fasubhanalladzi biyadihi malakutu kulli syai’in wa ilaihi turja’un”. Mas lurah mencium penuh ta’dzim kitab yang diyakininya sebagai garis-garis besar haluan kehidupan. Membaca yasin setelah maghrib adalah ritual yang diistiqomahkan untuk ibu tercintanya di alam nun jauh di sana.

“Assalamu’alaikum” tidak lama kemudian terdengar suara kang sholihin yang berada di belakang Mas Lurah.
“Wa’alaikum salam wa rahmah. Sudah lama kang?” tanya santri kawakan itu.
“Barusan Mas.”
“ada apa? Tumben sambang kamar. Kok tidak di warung kopi pondok saja”
“Ya Mas ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Ada masalah pribadi” ucap santri yang lebih muda lima tahunan dari mas lurah.
“Begini Mas..” suara kang sholihin terhenti seolah ia ragu akan mengatakan. Mas lurah melihat di atas kepalanya terangkai benang kusut yang susah dirunut.
“Be.. be.. bgini Mas” lagi-lagi suaranya tersendat ditenggorokan. Iapun cepat-cepat mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya.
“Begini mas. Saya disuruh ka.. kawin emak”
“Lha bagus itu. Kan sudah tepat. Sampean sudah berusia. Sudah pantas untuk kawin. Kalau menurut agama minimal sunnah hukumnya, atau bisa-bisa wajib”.
“Kok begitu, sampean sendiri kan lebih tua. Berarti sampean sudah lebih dari wajib”
“Tidak begitu kang. Setiap orang punya pertimbangan masing-masing. Bukankan hukum itu akan berubah sesuai dengan latar belakang permasalah?, al-hukmu yaduru bi illatin wujudan wa adaman”
“Lha terus apa alasan sampean tidak kawin-kawin?”.
“Kawin suatu hal yang besar dalam hidup” jawab mas lurah. Kemudian ia meneruskan:
Semua orang ingin terjadi sekali dalam hidup. Dan efeknya luar biasa. Setelah diucapkan maka perkara yang haram menjadi halal, bahkan berpahala besar. Begitu pula sesuatu yang awalnya sah-sah saja untuk dilakukan menjadi dilarang atau bahkan dilaknat. Itulah mengapa orang jawa menyebut pasangan sebagai garwo, sigaran nyowo. Dua kata yang ketika disebut maka menggetarkan hati.
Nyowo adalah sarana inti kehidupan. Orang yang tidak punya pangkat, jabatan, atau harta jika masih punya nyowo maka masih ada kesempatan memperoleh segalanya. Tapi jika nyowo sudah tidak ada, jangankan harapan untuk memeroleh, seandainya ia memilikinya, dipaksa untuk meninggalkan semuanya.
Jadi nyowo adalah perangkat penting dalam kehidupan. Sedang sigaran adalah belahan dari bagian-bagian yang terpisah namun hakekatnya satu. Seandainya nyowo disigar menjadi dua, maka kedua sigaran ini harus kumpul agar nyowonya sempurna, tidak kurang suatu apa. Dan seandainya itu terjadi maka sempurna pula batin seseorang.
“Trus bagaimana kita memilih sigaran itu” sela kang sholihin yang sudah tidak sabar menunggu giringan.
“Kalau teorinya cari yang sejati, kalau untuk sampean cari yang shalihah”
“Terus bagaimana yang shalihah itu?” kejar kang sholihin seolah-olah hampir mendapat yang diinginkan.
“Sampean kan sudah pernah ngaji. Ya dibukak sendiri kitabnya”
“Maksudnya dalam hadits itu, carilah perempaun yang cantik, terjaga nasabnya, kaya, dan baik agamanya”
“Ha…ha…haaa.. sampean kok semangat banget menyebut kata cantiknya. Pertama lagi, seolah-olah sampean akan mendapatkan dan merasa nyaman.
“Lho redaksi haditsnya kan begitu?”
“Iya kang tapi mbok ya diteruskan haditsnya. Disempurnakan. Jangan dipotong-potong”
Suasana hening. Kang Sholihin merasa tabir jiwanya terbuka.
“Oya kang, kalau boleh jujur, wanita shalihahnya untuk sampean sudah mati” jawaban Mas Lurah menohok jantung kang sholihin.
“Lho kok bisa, dari mana sampean tahu?”.
“Iya karena sekarang sudah tidak ada wanita yang terkumpul keempat kesempurnaan untuk sampean. Kalau toh ada, mungkin tidak mau sama sampean. Maaf-maaf saja, bukannya menyindir tapi ya lihat dulu lah kondisi sampean kayak apa. La jamila, la nasaba, la fulusa. Datud din? Yah menang santrinya saja. Ngajinya saja sukur pendak. Pendak kambuh semangatnya. Tohokan kedua melesat cepat ditempat yang pertama.”
Suasana hening. Benang di atas kepala kang sholihin semakin kusut.
“Iyaa.. yaa.. brarti calonku istriku sudah mati?” ucap kang sholihin lemas. Seolah-olah dia tidak percaya.
“Belum” ucap Mas Lurah dengan nada datar tanpa ekspresi namun membuka perdebatan panjang. Benang-benang kusut tadi seolah disimpul mati penggalang pramuka, Sret.
“Katanya wanita yang salehah buatku sudah mati, tapi calon istriku belum mati?. Yang jelas Mas!!!”.
“Ya itukan dua simpul yang berbeda. Mar’ah salehah dan calon istri”.
“Berarti istriku tidak salehah?. Wah kebangeten sampean ini”.
“Bukan begitu kang. Saya hanya ingin manyampaikan, sampean terlalu mengimajinasikan wanita salehah yang sempurna, yang seperti dalam kitab. Kalau itu sudah tidak ada untuk sampean, atau sekali lagi seandainya ada itu mungkin tidak mencari sampean. Dia akan mencari yang kualitasnya di atas sampean, yang sama dengan dia dalam segi kesempurnaan.
Tutuplah semua teori itu. Carilah wanita yang mendekati itu. Yang penting dari seorang istri itu adalah wanita yang mampu menjadi penyempurna batinmu. Wanita yang ketika engkau memandang bisa memberi kesejukan dalam hati. Yang menghilangkan kebinalanmu sebagai seorang pria. Wanita yang tidak menuntut apa-apa yang tidak engkau punyai. Wanita yang mampu menerima segala anugrah-anugrahmu. Wanita yang mampu memberi ruang luas ketika dirimu terhimpit. Wanita yang dapat menyederhanakan keruwetan hidup. Wanita yang dapat mengokohkan kakimu ketika angin-angin menggoyahkan. Dan wanita yang dapat menghantarkanmu menuju hakekat cinta.
Dan itu tidak harus sesempurna yang sampean bayangkan. Cantiknya tidak harus seperti para bintang film berdandan menor dan lipstick tebal, kayanya tidak harus seperti para juragan bergaya perlente, dan seterusnya.
Begitu sebaliknya, engkau bisa memenuhi hajat hidupnya dengan usahamu yang normal dan baik. Engkau mampu memejamkan matanya ketika gairah kewanitaannya muncul. Engkau mampu menjadi pelindung ketika jiwanya merasa terancam. Engkau bisa menjadi pelengkap kekurangan-kekurangannya. Engkau bisa menerima kelebihan-kelebihannya. Engkau bisa menyediakan kesejukan jika kehampaan menghampirinya. Engkau bisa menyeimbangkan perasaan ketika naluri rasanya bergejolak frontal. Engkau mampu menyediakan irama yang sealur dengannya. Dan engkau bisa membimbingnya menuju jalan yang benar.
Hidup ini nyata, sedangkan kitab itu rumusan kenyataan. Terkadang hidup kita sesuai dengan rumusan tadi, dan terkadang tidak. Yah… seandainya sesuai berdoalah semoga kita bisa mensyukuri dan seandainya tidak berdoalah untuk bisa menerima dia dengan apa adanya, seperti dua sejoli yang menerima kekasihnya dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Itulah yang dikatakan orang jawa sebagai garwo, sigaran nyowo. Bagian lain yang dzahirnya terpisah namun dalam hakekatnya satu. Bersatu tapi terpisah. Terpisah tapi bersatu.

Wallahu a’lam.

Bojonegoro, 11 April 2010 M.